Jumat, 20 Desember 2013
ALHAMDULILLAH LULUS WISUDA MAK,..............................................
Cara Mendoakan dan Belasungkawa Kepada Non Muslim
Pak Ustadz, Dalam pergaulan saya dengan non Islam, sering dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang sangat prinsip. Misalnya kepada rekan non Islam, saya:
- menjenguk yang sakit
- menjenguk yang melahirkan
- memberikan pertolongan kepada yang mengalami bencana, dan lain sebagainya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Naufal
Jawaban: Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Mendoakan orang lain hukumnya tentu baik dan berpahala. Termasuk juga mendoakan hal-hal yang baik buat seorang non muslim sekalipun. Misalnya mendoakan kesembuhannya bila sakit atau bisa terbebas dari kesulitan duniawi lainnya. Tentu saja berdoa dengan cara islam kepada Allah SWT, bukan mengikuti ajaran mereka.Doa ini lebih merupakan sebuah doa yang bersifat kemanusiaan, di mana sebagai sesama manusia, wajarlah bila kita saling tolong dengan sesama.
Bahkan sebagai muslim diwajibkan kepada kita untuk melindungi kafir zimmi segala hal yang mencelakakan mereka. Bahkankalau sampai adapihak umat Islam yang menyakiti kafir zimmi yang berada dalam perlindungan umat Islam, maka yang memerangi itu harus diperangi. Maka mendoakan kebaikan duniawi buat mereka tentu saja merupakan hal yang wajar dan diperbolehkan.
Batas yang tidak boleh adalah memohonkan ampunan bagi orang yang kafir yang mati dalam kekafirannya. Meski pun yang kafir itu masih saudara kita sendiri. Dan dalam konteks itulah Allah SWT melarang Nabi Ibrahim mendoakan dan memintakan ampunan bagi ayahnya yang kafir.Berkata Ibrahim, Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
Ungkapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un (artinya: kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepadan-Nya) bukan doa dan sama sekali tidak bermaksud mendoakan orang yang wafat, melainkan ungkapan zikir biasa yang dikaitkan dalam konteks bila ada yang wafat. Sedangkan yang wafat itu beragama apapun, tidaklah menjadi masalah. Sebab makna lafaz dari hanyalah ungkapan bahwa kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepadan-Nya. Bahwa seorang mati dalam keadaan beriman atau tidak beriman, itu urusan masing-masing.Selama lafaz itu tidak bermakna doa atau memohonkan ampunan, tentu tidak terkena larangan. Namun bila diteruskan dengan ungkapan lain, seperti: semoga arwahnya diterima di sisi tuhan , tentu saja haram hukumnya. Sebab siapapun yang meninggal bukan sebagai muslim, sudah pasti arwahnya tidak akan diterima Allah. Tapi bukan gentayangan, melainkan tidak diterima sebagai hamba yang baik, sebaliknya diterima sebagai hamba yang kafir, ingkar dan sudah pasti 100% masuk neraka. Dan tanpa kemungkinan untuk diampuni lagi dosanya.
Demikian juga bila harapan kita adalah: Semoga arwahnya tenang di sisi-Nya , tentu saja tidak boleh. Sebab dalam pandangan aqidah kita, seorang yang mati dalam keadaan kafir, arwahnya tidak akan tenang. Sebab mereka harus berhadapan dengan malaikat azab.
Apa yang kami sampaikan ini bukan berarti kita harus membenci non muslim. Sama sekali tidak. Namun tema ini adalah bagian dari aqidah seorang muslim, untuk membedakan bahwa agama Islam itu tidak sama dengan agama lain. Bedanya jelas, yang muslim kalau mati masuk surga sedangkan yang bukan muslim matinya pasti masuk neraka. Jadi ungkapan bahwa semua agama itu sama adalah ungkapan yang sesat dan menyesatkan.Tetapi kalau kita sampaikan rasa bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan, misalnya dengan ucapan turut berduka cita, seperti yang umumnya tertulis di karangan bunga, tentu tidak menjadi masalah. Toh, ungkapan ini juga bukan doa melainkan hanya ungkapan rasa simpati sebagai sesama manusia biasa. Bahkan kalaupun kita mohon kepada Allah SWT agar keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran, tentu saja tidak mengapa.
Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jumat, 05 Juli 2013
wujudkan Guru Profesional Kesadaran untuk menghadirkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya utama pencerdas bangsa, barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban pendidikan. Di Indonesia, khusus untuk guru, dilihat dari dimensi sifat dan substansinya, alur untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu: (1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi, (2) induksi guru pemula berbasis sekolah, (3) profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi, dan (4) profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani.
wujudkan Guru Profesional
Berkaitan dengan penyediaan guru, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh negara sebagai guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi.
Khusus untuk pendidikan profesi guru, beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua produk hukum ini. Pertama, calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua, sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan olehperguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.Keempat, jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri. Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik. Keenam, uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi. Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (1) wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (2) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan (3) konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya. Kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktikpembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 mengisyaratkan bahwa ke depan hanya seseorang yang berkualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1 atau D-IV dan memiliki sertifikat pendidiklah yang “legal” direkruit sebagai guru. Jika regulasi ini dipatuhi secara taat asas, harapannya tidak ada alasan calon guru yang direkruit untuk bertugas pada sekolah-sekolah di Indonesia berkualitas di bawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkruit untuk menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negara untuk pertama kali berstatus sebagai calon pegawai negeri sipil (PNS) guru, mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakkan kaki pertama kali di kampus sekolah. Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang
disebut dengan induksi. Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional. Ini pun tentu tidak mudah, karena di daerah pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang nun jauh di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas guru seperti apa yang tersedia dan bersedia menjadi mentor sebagai tandem itu. Jadi, sunggupun guru yang direkruit telah memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, yang dalam produk hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, masih diperluan program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar profesional. Pada banyak literatur akademik, program induksi diyakini merupakan fase yang harus dilalui ketika seseorang dinyatakan diangkat dan ditempatkan sebagai guru. Program induksi merupakan masa transisi bagi guru pemula (beginning teacher) terhitung mulai dia petama kali menginjakkan kaki di sekolah atau satuan pendidikan hingga benar-benar layak dilepas untuk menjalankan tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.Kebijakan ini memperoleh legitimasi akademik, karena secara teoritis dan empiris lazim dilakukan di banyak negara. Sehebat apapun pengalaman teoritis calon guru di kampus, ketika menghadapi realitas dunia kerja, suasananya akan lain. Persoalan mengajar bukan hanya berkaitan dengan materi apa yang akan diajarkan dan bagaimana mengajarkannya, melainkan semua subsistem yang ada di sekolah dan di masyarakat ikut mengintervensi perilaku nyata yang harus ditampilkan oleh guru, baik di dalam maupun di luar kelas. Di sinilah esensi progam induksi yang tidak dibahas secara detail di dalam buku ini.
Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan kemudian secara rutin keseharian menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan profesinya tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah esensi pembinaan dan pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding, dan lain-lain adalah penting. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya.[ki]
Tags:
Integrasi Media dan TEP
A.
Pengertian Media Pembelajaran
Media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan
pesan (Bovee, 1997). Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk
menyampaikan pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi
antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan
tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media.
Bentuk-bentuk stimulus bisa dipergunakan sebagai media
diantaranya adalah hubungan atau interaksi manusia; realia; gambar bergerak
atau tidak; tulisan dan suara yang direkam. Kelima bentuk stimulus ini akan
membantu pembelajar mempelajari bahasa asing. Namun demikian tidaklah mudah
mendapatkan kelima bentuk itu dalam satu waktu atau tempat.
Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat.
Media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media
mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga
harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain
memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan
pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong mahasiswa
untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.
B.
Kriteria Media Pembelajaran
Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah
media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya (Hubbard, 1983).
Kreteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang
akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersedian
fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas,
keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang
ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan
pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.
Kriteria di atas lebih diperuntukkan bagi media
konvensional. Thorn mengajukan enam kriteria untuk menilai multimedia
interaktif (Thorn, 1995). Kriteria penilaian yang pertama adalah kemudahan
navigasi. Sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin sehingga
pembelajar bahasa tidak perlu belajar komputer lebih dahulu. Kriteria yang
kedua adalah kandungan kognisi, kriteria yang lainnya adalah pengetahuan dan
presentasi informasi. Kedua kriteria ini adalah untuk menilai isi dari program
itu sendiri, apakah program telah memenuhi kebutuhan pembelajaran si pembelajar
atau belum. Kriteria keempat adalah integrasi media di mana media harus
mengintegrasikan aspek dan ketrampilan bahasa yang harus dipelajari. Untuk
menarik minat pembelajar program harus mempunyai tampilan yang artistik maka
estetika juga merupakan sebuah kriteria. Kriteria penilaian yang terakhir
adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus memberikan
pembelajaran yang diinginkan oleh pembelajar. Sehingga pada waktu seorang
selesai menjalankan sebuah program dia akan merasa telah belajar sesuatu.
Asumsi dari Definisi Teknologi
Pembelajaran
·
Definisi Association for
Educational Communications Technology (AECT) 1963
“ Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan
praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan
pesan guna mengendalikan proses belajar, mencakup kegiatan : (a)
mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan dalam proses belajar; (b)
penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam
lingkungan pendidikan, meliputi : perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen
dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran. Tujuan
praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan medium komunikasi secara efektif
untuk membantu pengembangan potensi pembelajar secara maksimal.”
Meski masih menggunakan istilah komunikasi audio- visual,
definisi di atas telah menghasilkan kerangka dasar bagi pengembangan Teknologi
Pembelajaran berikutnya serta dapat mendorong terjadinya peningkatan
pembelajaran.
·
Definisi Commission on
Instruction Technology (CIT)
1970
“Dalam pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran
diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang
dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan
papan tulis…..bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi,
film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.”
“Teknologi Pembelajaran merupakan usaha sistematik dalam
merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar untuk
suatu tujuan khusus, serta didasarkan pada penelitian tentang
proses belajar dan komunikasi pada manusia yang menggunakan kombinasi sumber
manusia dan manusia agar belajar dapat berlangsung efektif.”
Dengan mencantumkan istilah tujuan khusus, tampaknya
rumusan tersebut berusaha mengakomodir pengaruh pemikiran B.F. Skinner (salah
seorang tokoh Psikologi Behaviorisme) dalam teknologi pembelajaran. Begitu
juga, rumusan tersebut memandang pentingnya penelitian tentang metode dan
teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan khusus.
·
Definisi Silber 1970
“Teknologi Pembelajaran adalah pengembangan (riset, desain,
produksi, evaluasi, dukungan- pasokan, pemanfaatan) komponen sistem
pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar) serta
pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personal) secara sistematik,
dengan tujuan untuk memecahkan masalah belajar”.
Definisi yang dikemukakan oleh Kenneth Silber di atas
menyebutkan istilah pengembangan. Pada definisi sebelumnya yang dimaksud
dengan pengembangan lebih diartikan pada pengembangan potensi manusia.
Dalam definisi Silber, penggunaan istilah pengembangan memuat dua pengertian,
disamping berkaitan dengan pengembangan potensi manusia juga diartikan pula
sebagai pengembangan dari Teknologi Pembelajaran itu sendiri, yang mencakup :
perancangan, produksi, penggunaan dan penilaian teknologi untuk pembelajaran.
·
Definisi MacKenzie dan
Eraut 1971
“Teknologi Pendidikan merupakan studi sistematik mengenai
cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”
Definisi sebelumnya meliputi istilah, “mesin”, instrumen”
atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie dan Eraut ini
tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat keras, tetapi lebih
berorientasi pada proses.
·
Definisi AECT 1972
Pada tahun 1972, AECT berupaya merevisi defisini yang sudah
ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan sebagai berikut :
“Teknologi Pendidikan adalah suatu bidang yang
berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha
sistematik dalam : identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan pemanfaatan
berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses
tersebut”.
Definisi ini didasari semangat untuk menetapkan komunikasi
audio-visual sebagai suatu bidang studi. Ketentuan ini mengembangkan gagasan
bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu profesi.
·
Definisi AECT 1977
“Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang
terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk
menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan
masalah dalam segala aspek belajar pada manusia.
Definisi tahun 1977, AECT berusaha mengidentifikasi sebagai
suatu teori, bidang dan profesi. Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963,
tidak menekankan teknologi pendidikan sebagai suatu teori.
·
Definisi AECT 1994
“ Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam
desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang
proses dan sumber untuk belajar.”
Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana,
definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya
semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang dan
profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek
yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau
kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi
ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.
A. Kawasan Pengembangan
Pengembangan adalah
proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik, di
dalamnya meliputi : (1) teknologi cetak; (2) teknologi audio-visual; (3)
teknologi berbasis komputer; dan (4) teknologi terpadu. Kawasan pengembangan
berakar pada produksi media. Melalui proses yang bertahun-tahun perubahan dalam
kemampuan media ini berakibat pada perubahan kawasan. Walaupun perkembangan
buku teks dan alat bantu pembelajaran yang lain (teknologi cetak) mendahului
film, namun pemunculan film merupakan tonggak sejarah dari gerakan audio-visual
ke era Teknologi Pembelajaran sekarang ini. Pada 1930-an film mulai digunakan
untuk kegiatan pembelajaran (teknologi audio-visual). Selama Perang Dunia
II, banyak jenis bahan yang diproduksi terutama film untuk pelatihan
militer. Setelah perang, televisi sebagai media baru digunakan untuk
kepentingan pendidikan (teknologi audio-visual). Selama akhir tahun 1950- an
dan awal tahun 1960-an bahan pembelajaran berprograma mulai digunakan untuk
pembelajaran. Sekitar tahun 1970-an komputer mulai digunakan untuk
pembelajaran, dan permainan simulasi menjadi mode di sekolah. Selama tahun
1098-an teori dan praktek di bidang pembelajaran yang berlandaskan komputer
berkembang seperti jamur dan sekitar tahun 1990-an multimedia terpadu yang
berlandaskan komputer merupakan dari kawasan ini. Di dalam kawasan pengembangan
terdapat keterkaitan yang kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong
terhadap desain pesan maupun strategi pembelajarannya . Pada dasarnya kawasan
pengembangan terjadi karena :
Ø
Pesan yang didorong oleh isi
Ø
Strategi pembelajaran yang didorong
oleh teori,
Ø
Manifestasi fisik dari
teknologi – perangkat keras, perangkat lunak, dan bahan pembelajaran
1.
Teknologi Cetak; adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan,
seperti : buku-buku, bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui
pencetakan mekanis atau photografis. Teknologi ini menjadi dasar untuk
pengembangan dan pemanfaatan dari kebanyakan bahan pembelajaran lain. Hasil
teknologi ini berupa cetakan. Teks dalam penampilan komputer adalah suatu
contoh penggunaan teknologi komputer untuk produksi. Apabila teks
tersebut dicetak dalam bentuk “cetakan” guna keperluan pembelajaran merupakan
contoh penyampaian dalam bentuk teknologi cetak.
Dua komponen teknologi ini adalah bahan teks verbal dan
visual. Pengembangan kedua jenis bahan pembelajaran tersebut sangat bergantung
pada teori persepsi visual, teori membaca, pengolahan informasi oleh manusia
dan teori belajar. Secara khusus, teknologi cetak/visual mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
v
Teks dibaca secara linier, sedangkan
visual direkam menurut ruang
v
Keduanya biasanya memberikan
komunikasi satu arah yang pasif.
v
Keduanya berbentuk visual yang
statis
v
Pengembangannya sangat bergantung
kepada prinsip-prinsip linguistik dan persepsi visual.
v
Keduanya berpusat pada pembelajar
v
Informasi dapat diorganisasikan dan
distrukturkan kembali oleh pemakai.
2.
Teknologi Audio-Visual; merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan
menggunakan peralatan dan elektronis untuk menyajikan pesan-pesan audio dan
visual. Pembelajaran audio-visual dapat
dikenal dengan mudah karena menggunakan perangkat keras di dalam proses
pengajaran. Peralatan audio-visual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup,
pemutaran kembali suara, dan penayangan visual yang beukuran besar.
Pembelajaran audio-visual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan
yang berkaitan dengan pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang
secara eksklusif tidak selalu harus bergantung kepada pemahaman kata-kata dan
simbol-simbol sejenis. Secara khusus, teknologi audio-visual
cenderung mempunyai karakteristik sebagai berikut :
v
Bersifat linier
v
Menampilkan visual yang dinamis
v
Secara khas digunakan menurut cara
yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembang.
v
Cenderung merupakan bentuk
representasi fisik dari gagasan yang riil dan abstrak.
v
Dikembangkan berdasarkan
prinsip-prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif.
v
Sering berpusat pada guru, kurang
memperhatikan interaktivitas belajar si pembelajar.
3.
Teknologi Berbasis Komputer; merupakan cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan
dengan menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor. Pada
dasarnya, teknologi berbasis komputer menampilkan informasi kepada pembelajar
melalui tayangan di layar monitor. Berbagai aplikasi komputer biasanya disebut
“computer-based intruction (CBI)”, “computer assisted instruction
(CAI”), atau “computer-managed instruction (CMI)”.
Aplikasi-aplikasi ini hampir seluruhnya dikembangkan
berdasarkan teori perilaku dan pembelajaran terprogram, akan tetapi sekarang
lebih banyak berlandaskan pada teori kognitif. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat
bersifat : (1) tutorial, pembelajaran utama diberikan, (2) latihan dan
pengulangan untuk membantu pembelajar mengembangkan kefasihan dalam bahan yang
telah dipelajari sebelumnya, (3) permainan dan simulasi untuk
memberi kesempatan menggunakan pengetahuan yang baru dipelajari; dan (5) dan
sumber data yang memungkinkan pembelajar untuk mengakses sendiri susunan data
melalui tata cara pengakasesan (protocol) data yang ditentukan secara
eksternal.
Teknologi komputer, baik yang berupa perangkat keras maupun
perangkat lunak biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut :
v
Dapat digunakan secara secara acak,
disamping secara linier
v
Dapat digunakan sesuai dengan
keinginan Pembelajar, disamping menurut cara seperti yang dirancang oleh
pengembangnya.
v
Gagasan-gagasan biasanya diungkapkan
secara abstrak dengan menggunakan kata, simbol maupun grafis.
v
Prinsip-prinsip ilmu kognitif
diterapkan selama pengembangan
v
Belajar dapat berpusat pada
pembelajar dengan tingkat interaktivitas tinggi.
4.
Teknologi Terpadu; merupakan cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan
dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Keistimewaan yang ditampilkan oleh teknologi ini,--
khususnya dengan menggunakan komputer dengan spesifikasi tinggi, yakni adanya
interaktivitas pembelajar yang tinggi dengan berbagai macam sumber belajar.
Pembelajaran dengan teknologi terpadu ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
v
Dapat digunakan secara acak,
disamping secara. linier
v
Dapat digunakan sesuai dengan
keinginan Pembelajar, disamping menurut cara seperti yang dirancang oleh
pengembangnya.
v
Gagasan-gagasan sering disajikan
secara realistik dalam konteks pengalaman Pembelajar, relevan dengan kondisi
pembelajar, dan di bawah kendali pembelajar.
v
Prinsip-prinsip ilmu kognitif dan
konstruktivisme diterapkan dalam pengembangan dan pemanfaatan bahan
pembelajaran
v
Belajar dipusatkan dan
diorganisasikan menurut pengetahuan kognitif sehingga pengetahuan terbentuk
pada saat digunakan.
v
Bahan belajar menunjukkan
interaktivitas pembelajar yang tinggi
v
Sifat bahan yang mengintegrasikan
kata-kata dan contoh dari banyak sumber media.
B.
Kawasan Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber
untuk belajar. Fungsi pemanfaatan sangat
penting karena membicarakan kaitan antara pembelajar dengan bahan atau sistem
pembelajaran. Mereka yang terlibat dalam pemanfaatan mempunyai tanggung jawab
untuk mencocokkan pembelajar dengan bahan dan aktivitas yang spesifik,
menyiapkan pembelajar agar dapat berinteraksi dengan bahan dan aktivitas yang
dipilih, memberikan bimbingan selama kegiatan, memberikan penilaian atas hasil
yang dicapai pembelajar, serta memasukannya ke dalam prosedur oragnisasi yang
berkelanjutan.
Kawasan pemanfaatan mungkin merupakan kawasan Teknologi
Pembelajaran, mendahului kawasan desain dan produksi media pembelajaran yang
sistematis. Kawasan ini berasal dari gerakan pendidikan visual pada dekade
pertama abad ke 20, dengan didirikannya museum-museum. Pada tahun-tahun awal
abad ke-20, guru mulai berupaya untuk menggunakan film teatrikal
dan film singkat mengenai pokok-pokok pembelajaran di kelas.
Di antara penelitian formal yang paling tua mengenai
aplikasi media dalam pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh Lashley
dan Watson mengenai penggunaan film-film pelatihan militer Perang Dunia I
(tentang pencegahan penyakit kelamin). Setelah Perang Dunia II, gerakan pembelajaran
audio-visual mengorganisasikan dan mempromosikan bahan-bahan audio
visual, sehingga menjadikan persediaan bahan pembelajaran semakin berkembang
dan mendorong cara-cara baru membantu guru. Selama tahun 1960-an banyak sekolah
dan perguruan tinggi mulai banyak mendirikan pusat-pusat media pembelajaran.
Karya Dale pada 1946 yang berjudul Audiovisual
Materials in Teaching, yang di dalamnya mencoba memberikan rasional
umum tentang pemilihan bahan dan aktivitas belajar yang tepat. Pada tahun, 1982
diterbitkan diterbitkan buku Instructional Materials and New Technologies of
Instruction oleh Heinich, Molenda dan Russel. Dalam buku ini
mengemukakan model ASSURE, yang dijadikan acuan prosedur untuk merancang
pemanfaatan media dalam mengajar. Langkah-langkah tersebut meliputi : (1)
Analyze leraner (menganalisis pembelajar); (2) State Objective
(merumuskan tujuan);(3) Select Media and Materials (memilih media
dan bahan); (4) Utilize Media and Materials (menggunakan media
dan bahan), (5) Require Learner Participation (melibatkan siswa) ; dan
(6) Evaluate and Revise (penilaian dan revisi).
Pemanfaatan Media;
yaitu penggunaan yang sistematis dari sumber belajar. Proses pemanfaatan
media merupakan proses pengambilan keputusan berdasarkan pada spesifikasi desain
pembelajaran. Misalnya bagaimana suatu film diperkenalkan atau ditindaklanjuti
dan dipolakan sesuai dengan bentuk belajar yang diinginkan. Prinsip-prinsip
pemanfaatan juga dikaitkan dengan karakteristik pembelajar. Seseorang yang
belajar mungkin memerlukan bantuan keterampilan visual atau verbal agar dapat
menarik keuntungan dari praktek atau sumber belajar.
Langganan:
Postingan (Atom)