Selasa, 16 Juli 2013

video Pembelajaran Kooperatif Jigsaw bag.I.

video Pembelajaran Kooperatif Jigsaw bag.I.
video Pembelajaran Kooperatif Jigsaw bag.I.

Cara Mendoakan dan Belasungkawa Kepada Non Muslim



Pak Ustadz, Dalam pergaulan saya dengan non Islam, sering dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang sangat prinsip. Misalnya kepada rekan non Islam, saya:
  • menjenguk yang sakit
  • menjenguk yang melahirkan
  • memberikan pertolongan kepada yang mengalami bencana, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana, cara kita sebagai umat Islam mendoakan rekan non Islam untuk sehubungan dengan hal-hal di atas. Kemudian jika mendengar rekan non Islam yang meninggal, ucapan yang bagaimana bisa disampaikan sebagai rasa belasungkawa kita. Atas perhatiannya saya sampaikan terima-kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Naufal
Jawaban: Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Mendoakan orang lain hukumnya tentu baik dan berpahala. Termasuk juga mendoakan hal-hal yang baik buat seorang non muslim sekalipun. Misalnya mendoakan kesembuhannya bila sakit atau bisa terbebas dari kesulitan duniawi lainnya. Tentu saja berdoa dengan cara islam kepada Allah SWT, bukan mengikuti ajaran mereka.
Doa ini lebih merupakan sebuah doa yang bersifat kemanusiaan, di mana sebagai sesama manusia, wajarlah bila kita saling tolong dengan sesama.
Bahkan sebagai muslim diwajibkan kepada kita untuk melindungi kafir zimmi segala hal yang mencelakakan mereka. Bahkankalau sampai adapihak umat Islam yang menyakiti kafir zimmi yang berada dalam perlindungan umat Islam, maka yang memerangi itu harus diperangi. Maka mendoakan kebaikan duniawi buat mereka tentu saja merupakan hal yang wajar dan diperbolehkan.
Batas yang tidak boleh adalah memohonkan ampunan bagi orang yang kafir yang mati dalam kekafirannya. Meski pun yang kafir itu masih saudara kita sendiri. Dan dalam konteks itulah Allah SWT melarang Nabi Ibrahim mendoakan dan memintakan ampunan bagi ayahnya yang kafir.
Berkata Ibrahim, Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
Ungkapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un (artinya: kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepadan-Nya) bukan doa dan sama sekali tidak bermaksud mendoakan orang yang wafat, melainkan ungkapan zikir biasa yang dikaitkan dalam konteks bila ada yang wafat. Sedangkan yang wafat itu beragama apapun, tidaklah menjadi masalah. Sebab makna lafaz dari hanyalah ungkapan bahwa kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepadan-Nya. Bahwa seorang mati dalam keadaan beriman atau tidak beriman, itu urusan masing-masing.
Selama lafaz itu tidak bermakna doa atau memohonkan ampunan, tentu tidak terkena larangan. Namun bila diteruskan dengan ungkapan lain, seperti: semoga arwahnya diterima di sisi tuhan , tentu saja haram hukumnya. Sebab siapapun yang meninggal bukan sebagai muslim, sudah pasti arwahnya tidak akan diterima Allah. Tapi bukan gentayangan, melainkan tidak diterima sebagai hamba yang baik, sebaliknya diterima sebagai hamba yang kafir, ingkar dan sudah pasti 100% masuk neraka. Dan tanpa kemungkinan untuk diampuni lagi dosanya.
Demikian juga bila harapan kita adalah: Semoga arwahnya tenang di sisi-Nya , tentu saja tidak boleh. Sebab dalam pandangan aqidah kita, seorang yang mati dalam keadaan kafir, arwahnya tidak akan tenang. Sebab mereka harus berhadapan dengan malaikat azab.
Apa yang kami sampaikan ini bukan berarti kita harus membenci non muslim. Sama sekali tidak. Namun tema ini adalah bagian dari aqidah seorang muslim, untuk membedakan bahwa agama Islam itu tidak sama dengan agama lain. Bedanya jelas, yang muslim kalau mati masuk surga sedangkan yang bukan muslim matinya pasti masuk neraka. Jadi ungkapan bahwa semua agama itu sama adalah ungkapan yang sesat dan menyesatkan.
Tetapi kalau kita sampaikan rasa bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan, misalnya dengan ucapan turut berduka cita, seperti yang umumnya tertulis di karangan bunga, tentu tidak menjadi masalah. Toh, ungkapan ini juga bukan doa melainkan hanya ungkapan rasa simpati sebagai sesama manusia biasa. Bahkan kalaupun kita mohon kepada Allah SWT agar keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran, tentu saja tidak mengapa.
Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jumat, 05 Juli 2013

wujudkan Guru Profesional


wujudkan Guru Profesional Kesadaran untuk menghadirkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya utama pencerdas bangsa, barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban pendidikan. Di Indonesia, khusus untuk guru, dilihat dari dimensi sifat dan substansinya, alur untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu: (1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi, (2) induksi guru pemula berbasis sekolah, (3) profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi, dan (4) profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani.
Berkaitan dengan penyediaan guru, UU No. 14 Tahun  2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai penyediaan guru berbasis perguruan  tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga pendidikan tenaga kependidikan dimaksud  adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh  pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan  dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
guru profesional
Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh negara sebagai guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan  yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi.
Khusus untuk pendidikan profesi guru, beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua produk hukum ini. Pertama, calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua, sertifikat pendidik bagi  guru diperoleh melalui program  pendidikan profesi yang diselenggarakan olehperguruan tinggi yang memiliki program pengadaan  tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.Keempat, jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.  Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.  Keenam, uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi. Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (1) wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (2) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan (3) konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya.  Kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktikpembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 mengisyaratkan bahwa ke depan hanya seseorang yang berkualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1 atau D-IV dan memiliki sertifikat pendidiklah yang “legal” direkruit sebagai guru.  Jika regulasi ini dipatuhi secara taat asas, harapannya  tidak ada alasan calon guru  yang direkruit untuk bertugas  pada sekolah-sekolah di Indonesia berkualitas di bawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkruit untuk menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negara untuk pertama kali berstatus sebagai calon pegawai negeri sipil (PNS) guru, mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakkan kaki pertama kali di kampus sekolah. Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang
disebut dengan induksi. Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional. Ini pun tentu tidak mudah, karena di  daerah pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang nun jauh di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas guru seperti apa yang tersedia dan bersedia menjadi mentor sebagai tandem itu.  Jadi, sunggupun guru yang direkruit telah memiliki kualifikasi minimum  dan sertifikat pendidik, yang dalam produk hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, masih diperluan program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar profesional. Pada banyak literatur akademik, program induksi diyakini merupakan fase yang harus dilalui ketika seseorang dinyatakan diangkat dan ditempatkan sebagai guru. Program induksi merupakan masa transisi bagi guru pemula (beginning teacher) terhitung mulai dia petama kali menginjakkan kaki di sekolah atau satuan  pendidikan hingga benar-benar layak dilepas untuk menjalankan tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.Kebijakan ini memperoleh legitimasi akademik, karena secara teoritis dan empiris lazim dilakukan di banyak negara. Sehebat apapun pengalaman teoritis calon guru di kampus, ketika menghadapi realitas dunia kerja, suasananya akan lain. Persoalan mengajar bukan hanya berkaitan dengan materi apa yang akan diajarkan dan bagaimana mengajarkannya, melainkan semua subsistem yang ada di sekolah dan di masyarakat ikut mengintervensi perilaku nyata yang harus ditampilkan oleh guru, baik di dalam maupun di luar kelas. Di sinilah esensi progam induksi yang tidak dibahas secara detail di dalam buku ini.
Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan kemudian  secara rutin keseharian menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan profesinya tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai  dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah esensi pembinaan dan pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding,  dan lain-lain adalah penting. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya.[ki]



Tags:

Integrasi Media dan TEP





 
A.  Pengertian Media Pembelajaran
Media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Bovee, 1997). Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media.
Bentuk-bentuk stimulus bisa dipergunakan sebagai media diantaranya adalah hubungan atau interaksi manusia; realia; gambar bergerak atau tidak; tulisan dan suara yang direkam. Kelima bentuk stimulus ini akan membantu pembelajar mempelajari bahasa asing. Namun demikian tidaklah mudah mendapatkan kelima bentuk itu dalam satu waktu atau tempat.
Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong mahasiswa untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.

B. Kriteria Media Pembelajaran
Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya (Hubbard, 1983). Kreteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersedian fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.
Kriteria di atas lebih diperuntukkan bagi media konvensional. Thorn mengajukan enam kriteria untuk menilai multimedia interaktif (Thorn, 1995). Kriteria penilaian yang pertama adalah kemudahan navigasi. Sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin sehingga pembelajar bahasa tidak perlu belajar komputer lebih dahulu. Kriteria yang kedua adalah kandungan kognisi, kriteria yang lainnya adalah pengetahuan dan presentasi informasi. Kedua kriteria ini adalah untuk menilai isi dari program itu sendiri, apakah program telah memenuhi kebutuhan pembelajaran si pembelajar atau belum. Kriteria keempat adalah integrasi media di mana media harus mengintegrasikan aspek dan ketrampilan bahasa yang harus dipelajari. Untuk menarik minat pembelajar program harus mempunyai tampilan yang artistik maka estetika juga merupakan sebuah kriteria. Kriteria penilaian yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus memberikan pembelajaran yang diinginkan oleh pembelajar. Sehingga pada waktu seorang selesai menjalankan sebuah program dia akan merasa telah belajar sesuatu.
Asumsi dari Definisi Teknologi Pembelajaran
·         Definisi Association for Educational Communications Technology (AECT) 1963
“ Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan pesan guna  mengendalikan proses belajar, mencakup kegiatan : (a) mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan  dalam proses belajar; (b) penstrukturan dan sistematisasi  oleh orang maupun instrumen dalam lingkungan pendidikan, meliputi : perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran. Tujuan praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan medium komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi pembelajar secara maksimal.”
Meski masih menggunakan istilah komunikasi audio- visual, definisi di atas telah menghasilkan kerangka dasar bagi pengembangan Teknologi Pembelajaran berikutnya serta  dapat mendorong terjadinya peningkatan pembelajaran.
·         Definisi Commission on Instruction Technology (CIT) 1970
“Dalam pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan papan tulis…..bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi, film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.”
“Teknologi Pembelajaran merupakan usaha sistematik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar untuk suatu tujuan khusus, serta didasarkan pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi pada manusia yang menggunakan kombinasi sumber manusia dan manusia agar belajar dapat berlangsung efektif.”
Dengan mencantumkan istilah tujuan khusus, tampaknya rumusan tersebut berusaha mengakomodir pengaruh pemikiran B.F. Skinner (salah seorang tokoh Psikologi Behaviorisme) dalam teknologi pembelajaran. Begitu juga, rumusan tersebut memandang pentingnya penelitian tentang metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan khusus.
·          Definisi Silber 1970
“Teknologi Pembelajaran adalah pengembangan (riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan- pasokan, pemanfaatan) komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar) serta pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personal) secara sistematik, dengan tujuan untuk memecahkan masalah belajar”.
Definisi yang dikemukakan oleh Kenneth Silber di atas menyebutkan istilah pengembangan. Pada definisi sebelumnya yang dimaksud dengan pengembangan lebih diartikan  pada pengembangan potensi manusia. Dalam definisi Silber, penggunaan istilah pengembangan memuat dua pengertian, disamping berkaitan dengan pengembangan potensi manusia juga diartikan pula sebagai pengembangan dari Teknologi Pembelajaran itu sendiri, yang mencakup : perancangan, produksi, penggunaan dan penilaian teknologi untuk pembelajaran.

·          Definisi MacKenzie dan Eraut  1971
“Teknologi Pendidikan merupakan studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”
Definisi sebelumnya meliputi istilah, “mesin”, instrumen” atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie dan Eraut ini tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat keras, tetapi lebih berorientasi pada proses.

·          Definisi AECT  1972
Pada tahun 1972, AECT berupaya  merevisi defisini yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan sebagai berikut :
“Teknologi Pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha sistematik dalam : identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut”.
Definisi ini didasari semangat untuk menetapkan komunikasi audio-visual sebagai suatu bidang studi. Ketentuan ini mengembangkan gagasan bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu profesi. 
·          Definisi AECT  1977
“Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia.
Definisi tahun 1977, AECT berusaha mengidentifikasi sebagai suatu teori, bidang dan profesi. Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963, tidak menekankan teknologi pendidikan sebagai suatu teori.
·          Definisi AECT  1994
“ Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi  tentang proses dan sumber untuk belajar.”

Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang dan profesi,  yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek yang kokoh.  Definisi ini juga  berusaha menyempurnakan wilayah atau kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.
  http://unesa.info/tep/media/download/image013.gif
A.  Kawasan Pengembangan
Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik, di dalamnya meliputi : (1) teknologi cetak; (2) teknologi audio-visual; (3) teknologi berbasis komputer; dan (4) teknologi terpadu. Kawasan pengembangan berakar pada produksi media. Melalui proses yang bertahun-tahun perubahan dalam kemampuan media ini berakibat pada perubahan kawasan. Walaupun perkembangan buku teks dan alat bantu pembelajaran yang lain (teknologi cetak) mendahului film, namun pemunculan film merupakan tonggak sejarah dari gerakan audio-visual ke era Teknologi Pembelajaran sekarang ini. Pada 1930-an film mulai digunakan untuk kegiatan pembelajaran (teknologi audio-visual). Selama Perang  Dunia II, banyak jenis bahan yang diproduksi  terutama film untuk pelatihan militer. Setelah perang, televisi sebagai media baru digunakan untuk kepentingan pendidikan (teknologi audio-visual). Selama akhir tahun 1950- an dan awal tahun 1960-an bahan pembelajaran berprograma mulai digunakan untuk pembelajaran.  Sekitar tahun 1970-an komputer mulai digunakan untuk pembelajaran, dan permainan simulasi menjadi mode di sekolah. Selama tahun 1098-an teori dan praktek di bidang pembelajaran yang berlandaskan komputer berkembang seperti jamur dan sekitar tahun 1990-an multimedia terpadu yang berlandaskan komputer merupakan dari kawasan ini. Di dalam kawasan pengembangan terdapat keterkaitan yang kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong terhadap desain pesan maupun strategi pembelajarannya . Pada dasarnya kawasan pengembangan terjadi karena :
Ø       Pesan yang didorong oleh isi
Ø       Strategi pembelajaran yang didorong oleh teori,
Ø        Manifestasi fisik dari teknologi – perangkat keras, perangkat lunak, dan bahan pembelajaran
1.       Teknologi Cetak; adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan, seperti : buku-buku, bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui pencetakan mekanis atau photografis. Teknologi ini menjadi dasar untuk pengembangan dan pemanfaatan dari kebanyakan bahan pembelajaran lain. Hasil teknologi ini berupa cetakan. Teks dalam penampilan komputer  adalah suatu contoh  penggunaan teknologi komputer untuk produksi. Apabila teks tersebut dicetak dalam bentuk “cetakan” guna keperluan pembelajaran merupakan contoh penyampaian dalam bentuk teknologi cetak.
Dua komponen teknologi ini adalah bahan teks verbal dan visual. Pengembangan kedua jenis bahan pembelajaran tersebut sangat bergantung pada teori persepsi visual, teori membaca, pengolahan informasi oleh manusia dan teori belajar. Secara khusus, teknologi cetak/visual mempunyai karakteristik sebagai berikut :
v      Teks dibaca secara linier, sedangkan visual direkam menurut ruang
v      Keduanya biasanya memberikan komunikasi satu arah yang pasif.
v      Keduanya berbentuk visual yang statis
v      Pengembangannya sangat bergantung kepada prinsip-prinsip linguistik dan persepsi visual.
v      Keduanya berpusat pada pembelajar
v      Informasi dapat diorganisasikan dan distrukturkan kembali oleh pemakai.
2.       Teknologi Audio-Visual; merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan dan elektronis untuk menyajikan pesan-pesan audio dan visual. Pembelajaran audio-visual dapat dikenal dengan mudah karena menggunakan perangkat keras di dalam proses pengajaran. Peralatan audio-visual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup, pemutaran kembali suara, dan penayangan visual yang beukuran besar. Pembelajaran audio-visual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan yang berkaitan dengan pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang secara eksklusif tidak selalu harus bergantung kepada pemahaman kata-kata dan simbol-simbol sejenis. Secara khusus,   teknologi audio-visual cenderung mempunyai karakteristik sebagai berikut : 
v      Bersifat linier
v      Menampilkan visual yang dinamis
v      Secara khas digunakan menurut cara yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembang.
v      Cenderung merupakan bentuk representasi fisik dari gagasan yang riil dan abstrak.
v      Dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif.
v      Sering berpusat pada guru, kurang memperhatikan interaktivitas belajar si pembelajar.
3.       Teknologi Berbasis Komputer; merupakan cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan  perangkat yang bersumber pada mikroprosesor. Pada dasarnya, teknologi berbasis komputer menampilkan informasi kepada pembelajar melalui tayangan di layar monitor. Berbagai aplikasi komputer biasanya disebut “computer-based intruction (CBI)”, “computer assisted instruction (CAI”), atau “computer-managed instruction (CMI)”.
Aplikasi-aplikasi ini hampir seluruhnya dikembangkan berdasarkan teori perilaku dan pembelajaran terprogram, akan tetapi sekarang lebih banyak berlandaskan pada teori kognitif. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat bersifat : (1) tutorial, pembelajaran utama diberikan, (2) latihan dan pengulangan untuk membantu pembelajar mengembangkan kefasihan dalam bahan yang telah dipelajari sebelumnya, (3) permainan dan simulasi   untuk memberi kesempatan menggunakan pengetahuan yang baru dipelajari; dan (5) dan sumber data yang memungkinkan pembelajar untuk mengakses sendiri susunan data melalui tata cara pengakasesan (protocol) data yang ditentukan secara eksternal.
Teknologi komputer, baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak  biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut :
v      Dapat digunakan secara secara acak, disamping secara linier
v      Dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pembelajar, disamping menurut cara seperti yang dirancang oleh pengembangnya.
v      Gagasan-gagasan biasanya diungkapkan secara abstrak dengan menggunakan kata, simbol maupun grafis.
v      Prinsip-prinsip ilmu kognitif diterapkan selama pengembangan
v      Belajar dapat berpusat pada pembelajar dengan tingkat interaktivitas tinggi.
4.       Teknologi Terpadu; merupakan cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan  beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Keistimewaan yang ditampilkan oleh teknologi ini,-- khususnya dengan menggunakan komputer dengan spesifikasi tinggi, yakni adanya interaktivitas pembelajar yang tinggi dengan berbagai macam sumber belajar.
Pembelajaran dengan teknologi terpadu ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
v      Dapat digunakan secara acak, disamping secara. linier
v      Dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pembelajar, disamping menurut cara seperti yang dirancang oleh pengembangnya.
v      Gagasan-gagasan sering disajikan secara realistik dalam konteks pengalaman Pembelajar, relevan dengan kondisi pembelajar, dan di bawah kendali pembelajar.
v      Prinsip-prinsip ilmu kognitif dan konstruktivisme diterapkan dalam pengembangan dan pemanfaatan bahan pembelajaran
v      Belajar dipusatkan dan diorganisasikan menurut pengetahuan kognitif sehingga pengetahuan terbentuk pada saat digunakan.
v      Bahan belajar menunjukkan interaktivitas pembelajar yang tinggi
v      Sifat bahan yang mengintegrasikan kata-kata dan contoh dari banyak sumber media.


B. Kawasan Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk belajar. Fungsi pemanfaatan sangat  penting karena membicarakan kaitan antara pembelajar dengan bahan atau sistem pembelajaran. Mereka yang terlibat dalam pemanfaatan mempunyai tanggung jawab untuk mencocokkan pembelajar dengan bahan dan aktivitas yang spesifik, menyiapkan pembelajar agar dapat berinteraksi dengan bahan dan aktivitas yang dipilih, memberikan bimbingan selama kegiatan, memberikan penilaian atas hasil yang dicapai pembelajar, serta memasukannya ke dalam prosedur oragnisasi yang berkelanjutan.
Kawasan pemanfaatan mungkin merupakan kawasan Teknologi Pembelajaran, mendahului kawasan desain dan produksi media pembelajaran yang sistematis. Kawasan ini berasal dari gerakan pendidikan visual pada dekade pertama abad ke 20, dengan didirikannya museum-museum. Pada tahun-tahun awal abad ke-20, guru mulai  berupaya untuk menggunakan  film teatrikal dan film singkat mengenai pokok-pokok pembelajaran di kelas.
Di antara penelitian formal yang paling tua mengenai aplikasi media dalam pendidikan ialah studi  yang dilakukan oleh Lashley dan Watson mengenai penggunaan film-film pelatihan militer Perang Dunia I (tentang pencegahan penyakit kelamin). Setelah Perang Dunia II, gerakan pembelajaran audio-visual mengorganisasikan dan mempromosikan  bahan-bahan audio visual, sehingga menjadikan persediaan bahan pembelajaran semakin berkembang dan mendorong cara-cara baru membantu guru. Selama tahun 1960-an banyak sekolah dan perguruan tinggi mulai banyak mendirikan pusat-pusat media pembelajaran.
Karya  Dale pada 1946 yang berjudul Audiovisual Materials in Teaching,  yang di dalamnya mencoba memberikan rasional umum tentang pemilihan bahan dan aktivitas belajar yang tepat. Pada tahun, 1982 diterbitkan diterbitkan buku Instructional Materials and New Technologies of Instruction oleh Heinich, Molenda dan Russel. Dalam buku ini  mengemukakan model ASSURE, yang dijadikan acuan prosedur untuk merancang pemanfaatan media dalam mengajar. Langkah-langkah tersebut meliputi :  (1) Analyze leraner (menganalisis pembelajar); (2) State Objective (merumuskan tujuan);(3)  Select Media and Materials (memilih media dan bahan); (4) Utilize Media and Materials (menggunakan media dan bahan), (5) Require Learner Participation (melibatkan siswa) ; dan (6) Evaluate and Revise (penilaian dan revisi). 
Pemanfaatan Media; yaitu penggunaan yang sistematis dari sumber belajar. Proses pemanfaatan media merupakan proses pengambilan keputusan berdasarkan pada spesifikasi desain pembelajaran. Misalnya bagaimana suatu film diperkenalkan atau ditindaklanjuti dan dipolakan sesuai dengan bentuk belajar yang diinginkan. Prinsip-prinsip pemanfaatan juga dikaitkan dengan karakteristik pembelajar. Seseorang yang belajar mungkin memerlukan bantuan keterampilan visual atau verbal agar dapat menarik keuntungan dari praktek atau sumber belajar.

Assalamualaikum

JAM

Daftar isi